SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
A.
Periode I masa rasulullah saw. (13
Sebelum Hijrahn – 11 H)
Kalau kita perhatikan pertumbuhan tasawuf pada
mulanya, dapatlah kita pandang bahwa tahannuts
Rasul di Goa Hira’, merupakan awal
tasawuf pada diri Nabi saw. tetapi karena tahannuts itu terjadi sebelum
Al-Qur’an itu diturunkan, maka tahannuts itu tidak dapat dijadikan awal tasawuf
islam. Hanya kehidupan Rasul setelah turun Al-Qur’an lah yang kita pandang awal
tasawuf islam.
Tahannuts Rasul saw. di Goa Hira’ memang untuk
mensucikan rohani, tetapi karena hal itu bukan dari ajaran Allah yang
diturunkan setelah datangnya syari’at islam, maka tahannuts Rasul di Goa Hira’
itu tidak dapat kita masukkan menjadi sumber tasawuf islam.
Ciri khas tasawuf pada di masa Rasul saw. ini
ialah berpegang teguhnya kaum muslimin dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabinya.
B.
Peride II Masa sahabat (11 H – 40 H)
Demikian pulalah kehidupan para sahabat yang mencontoh
langsung cara hidup Rasul. Mereka adalah manusia-manusia yang berakhlak
mulia dan membaktikan hidupnya untuk
kepentingan agama.
Abu Bakar termasyhur dengan kedermawanannya, ketaatan,
tawadlu’, wara’ dan mempunyai pribadi yang mulia. Sehingga ia mendapat tempat
yang utama di hati Rasulullah.
Umar Bin Khattab adalah seorang sahabat yang berbudi
tinggi, dia menyediakan malamnya untuk beribadat dan siangnya untuk urusan
negara. Meskipun ia seorang pemimpin negara, namun pakaiannya biasa-biasa saja,
rendah hati, wara’, dan berbudi luhur.
Usman Bin Affan adalah seorang hartawan yang dermawan.
Beliau telah memberikan sebagian dari hartanya untuk kepentingan agama. Bila
dia berada dirumah, tak pernah lepas Al-Qur’an dari tangannya. Beliau kerap
kali mentilawahkan Al-Qur’an dan memahami kandungannya sampai larut malam.
Ali Bin Abi Thalib termasyhur dengan tawadlu’nya, beliau
tidak malu memakai pakaian yang bertambal-tambal, bahkan ia sendiri pulalah
yang menambalnya. Sekali pernah beliau menjinjing daging dari pasar. Lantas
orang bertanya : “Apakah tuan tidak malu membawa daging itu ya Amirul
Mukminin?” beliau menjawab : “Yang kubawa ini adalah barang halal, apa yang
kumalukan terhadapanya!”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
sahabat tetap berpegang teguh terhadapa ajaran Al-Qur’an dan meneladani Rasul
yang baru saja menghilang di tengah-tengah mereka.
Orang yang paling banyak mengajarkan soal kerohanian di
periode ini antara lain Ali Bin Abi Thalib, Huzaifah Bin Al-Yaman, Abu
Hurairah, Abu zar dan lain-lain. Dapatlah kita katakan bahwa ciri-ciri tasawuf
dimasa sahabat ini adalah :
1. Memegang teguh ajaran kerohanian yang dipetik
dari Al-Qur’an.
2. Meneladani perilaku Rasulullah saw.
sepenuhnhya.
C.
Periode III Masa Tabi’in (41 H – 100 H)
Setelah masa sahabat berlalu datanglah masa tabi’in. Para
tabi’in yang dekat dengan sahabat-sahabat Nabi, terutama dengan shabat-sahabat
besar dan Huzaifah Bin Al-Yaman, telah
mendapatkan ajaran tasawuf secara langsung dari beliau-beliau itu dan dapat
meneladani perilaku sahabat-sahabat Rasul tadi.
Di masa tabi’in ini muncullah Hasan Al-Basri murid
terdekat dari Huzaifah dan dibesarkan dibawah asuhan Ali Bin Abi Thalib. Beliau
dilahirkan pada tahun 21 H (632 M) di Madinah dan pernah menyusu pada istri
Nabi saw. yaitu Ummu Salamah r.a.
Beliau adalah orang pertama yang merintis ilmu tasawuf
dan mengajarkan ilmu ini di Masjid Basrah. Ajaran-ajaran tasawuf beliau
senantiasa berjalan diatas Al-Qur’an dan Hadis, karena memang beliau seorang
ahli Hadis dan ahli Fiqih yang mempunyai
madzhab sendiri. Beliau pernah bertemu dengan 70 orang sahabat yang ikut perang
Badar dan 300 orang sahabat lainnya.
Pandangan yang amat teguh dipegangnya ialah zuhud, raja’,
dan khauf. Al-Hasan tidak terpengaruh oleh gangguan mata benda dunia yang telah
mulai menulari sebagian kaum muslimin dewasa itu. Beliau tidak suka menjadi
seorang pejabat, takut terganggu urusan agamanya.
Di samping sufi-sufi pria terdapat juga seorang ahli
tasawuf dari kalangan wanita yaitu Rabi’ah Al-adawiyah. Beliau juga hidup di
penghujung masa tabi’in. Corak tasawuf Rabi’ah ini masih mirip dengan tasawuf
di periode awal dari periode tabi’in, hanya saja perasaanya sudah mulai
menguasai pribadinya.
Tasawuf di masa tabi’in ini masih menurut jiwa Al-Qur’an
dan menurut praktek hidup Raulullah saw. yang ditiru dan diteladani oleh
sahabat-sahabat beliau. Dari sahabat inilah tabi’in meneladani cara hidup
Rasul. Di masa tabi’in ini pelajaran tasawuf sudah mulai diajarkan dalam bentuk
disiplin ilmu.
D.
Periode IV Meluasnya Tasawuf (100 H – 450 H)
Pada periode IV ini ajaran tasawuf mempunyai corak
tersendiri. Di dalam mengabdikan diri kepada Tuhan, orang sudah banyak
dipengaruhi oleh perasaanya sendiri, sehingga mereka kadang-kadang sudah
berlebih-lebihan dalam beribadat, dunia sudah ditinggalkan sama sekali. Kalau
di periode-periode sebelumnya orang bukan benci kepada dunia tetapi tidak mau
terpengaruh dengannya. Tetapi pada periode IV ini orang sudah mulai membenci
dunia.
Di masa ini muncul nama-nama sufi seperti Sirri As-Suqty,
Ma’ruf Al-Karakhi, Harts Al-Muhasiby, Sulaiman Ad-Darani dan lain-lain.
Dalam periode IV ini sampailah tasawuf di puncak
ketinggiannya dengan datangnya Husain Bin Mansur Al-Hallaj dengan teori-teorinya
yaitu :
1. Al-Hulul yaitu menjelmanya Tuhan dalam manusia
tertentu.
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah atau Nur Muhammad
yaitu pandangan bahwa alam semesta ini berasal dari Nur Muhammad.
3. Wahdatul Adyan yaitu pandangan bahwa semua
agama pada hakikatnya adalah satu, perbedaan antara satu dengan yang lainnya
hanyalah pada nama.
Selain dari
pandangan diatas dia juga memfatwakan :
1. Ibadah shalat dapat diganti dengan mengerjakan
shalat mulai dari tenggelam matahari sampai siang terus-menerus. Dengan ini
terhapuslah kewajiban shalat seumur hidup.
2. Zakat dapat diganti dengan sodaqoh.
3. Puasa Ramadhan boleh diganti dengan
mengerjakan puasa tiga hari tiga malam terus-menerus di luar Ramadhan.
4. Orang yang ingin mengerjakan haji boleh saja
ia kerjakan di sembarang tempat di luar Makkah, dan thawafnya cukup dengan
mengelilingi sesuatu yang berbentuk segi empat di bulan haji, ditambah dengam
memberi makan 30 orang anak yatim.
Ajaran di atas sangat menggemparkan para fuqaha yang
berpegang teguh dengan sunah. Karena adanya ajaran ini, Ibnu Daud berfatwa
bahwa ajaran Al-Hallaj menyesatkan. Fatwa ini akhirnya menjadi fatwa resmi,
sehinggga mengakibatkan Al-Hallaj dibawa ketiang gantungan.
Tasawuf di periode IV ini sudah mulai mengembangkan
sayapnya ke luar tanah Arab, seperti ke Iran, India, Afrika, dan lain-lain.
Tasawuf dikurun ini ditandai dengan :
1. Tumbuhnya tarekat-tarekat yaitu menentukan
Dzikir-dzikir untuk diamalkan di dalam zawiyah-zawiyah. Tarekat-tarekat yang
timbul pada periode ini antara lain : Tarekat As-Suqtiyah, Tarekat Khazzariyah,
Tarekat Nuriyah, dan Tarekat Mulamatiyah.
2. Mulai masuknya ajaran filsafat ke dalam
tasawuf islam.
3. Masuknya pengaruh Syi’ah atas jiwa tasawuf,
sehingga timbullah ajaran-ajaran tentang wali.
E.
Periode V Masa Pencerahan (450 H – 550 H)
Kedatangan Al-Ghazaly (450 – 505 H = 1057 – 1111 M)
keatas panggung sejarah tasawuf islam, membawa perhatian umum ummat islam
kembali kepada tasawuf. Tasawuf yang selama ini dipertentangkan dengan fiqh dan
ilmu kalam, atas usaha orang besar ini dapatlah dipertautkan kembali.
Usaha Al-Ghazaly yang terbesar ialah mengadakan
pencerahan kembali ilmu tasawuf dan mengembalikannya ke medan-medan ilmu
keislaman, setelah sekian lama tenggelam akibat kerusakan-kerusakan berat yang
ditimbulkan oleh ahli-ahli tasawuf yang sebelumnya kurang mengerti seluk beluk
ajaran islam.
Dalam hal ini, jalan usaha Al-Ghazaly yang pertama ialah
menyatukan antara fiqh , tasawuf dan ilmu kalam, sehingga hilang jurang pemisah
antara ketiganya, antara satu dengan yang lain saling membutuhkan seperti tali
berpilin tiga. Usaha ini terlihat dengan jelas di dalam Ihya Ulumuddin. Dalam
usaha besar ini Al-Ghazaly tidak bosan-bosannya menuangkan buah pikirannya dalam
buku-buku, baik besar maupun kecil.
F.
Periode VI Masa jayanya Tasawuf Falsafi (550 H
– 700 H)
Al-Ghazaly telah memulihkan pandangan umum yang selama
ini sinis kepada tasawuf. Atas usaha Al-Ghazaly ini tumbuhlah kembali tasawuf
itu dengan suburnya bersama-sama dengan fiqh dan ilmu kalam.
Tetpai disamping usaha Al-Ghazaly ini, tasawuf Al-hallaj
yang sudah mendarah daging dalam pribadi pengikut-pengikutnya, secara diam-diam
tumbuh juga, bahkan mengambil bentuk yang lebih ekstrim dari pendahulunya.
Usaha Al-Ghazaly memadukan antara ilmu-ilmu keislaman
yang sudah mulai cerah dan berhasil itu, mulai mundur kembali karena semakin
besarnya pengaruh tasawuf ala Al-Hallaj yakni perpaduan tasawuf dengan
filsafat. Atas perpaduan antara tasawuf dan filsafat ini timbullah
filosofi-filosofi sufi yang buah fikirannya tidak jauh berbeda dengan
Al-hallaj, mereka itu antara lain : Syuhrawardi, Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, Ibnu
Sabi’in, Abu Sa’id, Al- Anshari, Majdudin Sina’i, Fariduddin Al-Athar, dan
Jalaludin Rumi.
G.
Periode VII masa Pemurnian (700 H – .....)
Dalam periode VII inilah munculnya para pemurni Tasawuf
Islam yang menghapuskan ajaran-ajaran tasawuf yang berbau syirik, bid’ah, dan
khurafat. Bahkan bukan hanya dibidang tasawuf saja, tetapi dibidang ilmu-ilmu
lainpun mereka mengoreksi dan menghapuskan segala hal yang dipandnag bukan dari
ajaran Al-Qur’an dan As-Sunah.
Semenjak meninggalnya Al-Ghazaly, tasawuf telah
bercampur-baur dengan filsafat-filsafat Yunani, Hindu, Persia dan
filsafat-filsafat lain. Dan disamping itu masuk pula perasaan-perasaan yang
mendorong manusia untuk memperkuat ibadat dan perasaanya sendiri tanpa menurut
ajaran yang telah dibentangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Di kala itu muncullah Ulama’ul-ishlah yang membersihkan
dan memurnikan ajaran tasawuf itu kembali dari noda-noda yng mengotorinya.
Mereka itu antara lain : Ibnu Taimiyah Al-Harrani, Ibnu Qoyyim Al-jauziyyah,
As-Sanusi, Jamaluddin Al-Afghani dan lain-lain.
PERKEMBANGAN TASAWUF DI NUSANTARA
Perkembangan
ilmu tasawuf di nusantara, dibagi dalam tiga peiode :
1. Periode I Masa Pertumbuhan
2. Periode II Masa Perkembangan
3. Periode III Masa Pemurnian
Untuk lebih jelasnya diterangkan sebagai
berikut :
1. Periode I Masa
Pertumbuhan Tasawuf
Penyebaran islam di Indonesia tidak terlepas dari dakwah
yang dilakukan oleh Wali Songo khususnya di pulau jawa dan juga syekh Siti
Jenar. Agama islam masuk ke Indonesia sekitar abad keempat dan kelima Hijriah,
maka paham-paham sufi dan tasawuf yang sedang tersiar luas dan mendapat
perhatian umum dalam negara-negara islam ketika itu, menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari materi dakwah yang disampaikan di Indonesia. Dari sinilah
mulai tumbuhnya tasawuf di Indonesia. Berarti tasawuf itu tumbuh sejak islam
masuk ke Indonesia yang di bawa oleh para pedagang atau orang yang memang
khusus datang untuk menyiarkan agama islam seperti para Wali songo dan
orang-orang yang telah mempelajari tasawuf negerinya.
Di antara ulama yang muncul pada waktu ini adalah:
a. Hamzah
Al-fansuri
Hamzah Al-Fansuri ini menganut faham wujudiyah, seperti
faham Ibnu Arabi, Ibnu Sabi’in dan lainnya. Selain itu ia juga menganut tarekat
Qadariyah yang di bangsakan kepada Abdul Qadir Al-Jailani. Selain sebagai sufi
termasyhur, beliau juga sebagai sastrawan, seperti buku-bukunya syair Burung Pingai,
Syair Dagang dan lain-lain.
b. Abdur Rauf
Al-fanshuri
Beliau adalah pembawa tarekat Syaththariyah di Aceh yang
dipelajarinya dari Syekh Ahmad Al-Qasyasy di Madinah. Selain mempunyai murid
yang banyak, beliau juga giat menulis buku-buku. Di antara buku-bukunya ialah
Umdatul Muhtajin, ta’birul Bayan, Mir’atuth Thulab dan lain-lain.
c. Nuruddin Ar-Raniri
Beliau adalah seorang sufi yang tidak termakan ajaran
Ibnu Arabi. Tauhidnya itu tidak bergeser sedikitpun oleh tipuan khayal falsafi.
Dialah yang menjadi penentang Hamzah Al-fansuri. Beliau juga mempunyai karya
yang banyak diantaranya Tajus Salathin.
d. Syekh
Burhanuddin Ulakan
Beliau berasal dari Ulakan Pariman Propinsi Sumatera
Barat. Beliau belajar dengan Syekh Abdur-Rauf Fansuri di Barus selama 13 tahun.
Kemudian menyebarkan ilmunya di Minangkabau.
2. Periode II Masa
Perkembangan
Sepeninggal
ulama-ulama yang kita sebut di atas berkembanglah tasawuf di Nusantara ini,
terutama dalam bentuk tarekat-tarekat. Sedangkan ajaran-ajaran tentang wahdatul
wujud mulai mengabur dari bumi Nusantara. Dalam periode ini muncullah
ulama-ulama antara lain :
a. Syekh Abdush-Shamad Al-Falimbani
Beliau adalah anak dari Syekh Abdul jalil yang
berasal dari Yaman. Beliau dilahirkan di Palembang dan belajar ilmu di makkah
dan Madinah.
b. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Beliau lahir pada tanggal 13 Shafar tahun 1122
H di Banjarmasin. Beliau adalah seorang sufi yang luas pengetahuannya dalam
masalah fiqh syafi’i.
c. Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
Beliau adalah satu-satunya sufi yang menganut faham wujudiyah di periode II
ini, dengan bukunya Ad-Durrun Nafis.
3. Periode III
Masa Pemurnian
Di periode ini muncullah ulama’-ulama’ seperti
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Muhammad jamil Jambek, Dr. Syekh
Abdullah Ahmad dan lain-lain yang kritis dalam mempertahankan ajaran murni
agama islam. Merka tidak segan-segan menentang lawannya, membersihkan
masyarakat dari syirik, bid’ah, dan khurafat.
Kita akui meskipun usaha pemurnian tasawuf
belum sepenuhnya berhasil, namun kita telah dapat melihat faktanya dewasa ini,
pengaruh faham-faham wujudiyah, ittihad dan hulul sudah dapt dihilangkan dan
tarekat-tarekat sudah mulai menciut, meskipun ada pembela-pembelanya.